LATAR BELAKANG



Simposium Filsafat Indonesia 2014: 

"Mencari Sosok Filsafat Indonesia"

Bangsa Indonesia dianugerahi kekayaan sumber daya alam dan manusia. Khusus dalam hal manusia-manusia Indonesia, semboyan Bhinneka Tunggal Ika telah disepakati sebagai cakrawala bersama supaya keragaman Suku, Agama, Ras dan Golongan menjadi kekayaan yang berguna untuk membangun watak bangsa Indonesia.
Bagi para ilmuwan Filsafat yang dididik dan dibentuk dalam tradisi Filsafat Barat, ada tantangan besar untuk merenungkan ada tidaknya sebuah Filsafat Indonesia. Definisi filsafat sebagai philo-sophia--mencintai kebijaksanaan--itu sendiri menuntut para ilmuwannya untuk merenungkan dan mengolah beragam cara berpikir dan kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal yang ada di bangsa Indonesia ini untuk digali dan diolah guna disumbangkan bagi Negara kita dan masyarakat dunia.
Kehadiran ilmu Filsafat di bumi pertiwi tentu masih sangat muda bila dibandingkan dengan usia kelahiran ilmu ini di Yunani pada sekitar abad ke-6 sebelum Masehi. Filsafat sebagai kajian akademis baru hadir di Indonesia pada abad ke-20. Berbagai ide filosofis bisa kita tengarai kehadirannya sepanjang sejarah pergulatan menuju kemerdekaan. 
Seorang autodidak seperti Soekarno dan beberapa tokoh terpelajar pendiri Negara telah bersentuhan dengan Filsafat lewat pendidikan yang mereka terima dari luar (Muhammad Hatta menerbitkan Alam Pikiran Yunani). Secara akademis, seorang doktor Filsafat – N. Drijarkara - mengajar ilmu Filsafat di Yogyakarta pada sekitar tahun 1950-an, sementara Prof. Beerling dari Belanda mengajarkannya di Universitas Indonesia, Jakarta. Berkaca dari contoh Yogyakarta dan Jakarta, ilmu Filsafat hadir di dunia akademis Indonesia sejak masa itu, dan akhir dekade 1960-an sampai 1970-an mulai berdiri Fakultas-Fakultas Filsafat di bumi Pertiwi.
Tradisi Filsafat Barat mulai masuk dan mempengaruhi cara hidup bangsa Indonesia. Perdebatan dan pertempuran ideologi Partai-Partai Politik di awal berdirinya Republik merupakan kecipak pinggiran dari perang gelombang ide-ide filosofis di Barat. Bukan hanya model berpikir yang Barat yang mendarat di sini, cara membangun, cara berpakaian, cara memakai segala piranti, dan akhirnya cara hidup Barat pun terus bergelombang menjadi riak-riak yang menyatu dalam pantai bumi pertiwi. Dalam tradisi berpikir, apa yang menjadi gelombang pemikiran Barat berkecipak di bumi Indonesia: modernisme, kritik ideologi, posmodernisme, feminisme, poskolonialisme.
Dalam soal Agama, Kebudayaan, Politik, dan Ekonomi kita bisa melihat gejala yang sama. Fakta ini tidak harus ditanggapi secara defensif dan negatif. Ini adalah petunjuk bahwa kita adalah anggota komunitas dunia. Dan tanpa menyingkirkan urgensi soal Agama, Kebudayaan, Politik dan Ekonomi, khusus dalam soal pemikiran, sebagai anggota komunitas dunia yang aktif, sudah saatnya bila komunitas ilmuwan Filsafat di Indonesia mulai memikirkan kemungkinan sebuah gelombang yang siapa tahu pada gilirannya bisa berkecipak di daratan pantai lain.
Simposium Filsafat Indonesia digagas untuk mencari sosok Filsafat Indonesia. Dengan kompetensi penguasaan tradisi pemikiran Barat yang sudah kita buktikan, bagaimana sebagai bangsa Indonesia kita merumuskan sesuatu yang bisa dinamai sebagai Filsafat Indonesia? Pertanyaan ini bertitik tolak dari pengamatan sehari-hari bahwa sebagaimana Musik Barat tidak pernah menghilangkan musik-musik lokal, cara berpikir Barat pun tidak sepenuhnya menghilangkan cara khas orang Indonesia berpikir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar