Mpu Kanwa, Abad ke-11
Mpu Kanwa merupakan seorang penyair yang hidup di era kekuasaan raja Jawa Timur di Indonesia, yakni Raja Airlangga (1019-1049). Mpu Kanwa adalah seorang pengarang puisi Jawa Kuno yang berjudul Arjunawiwaha. Puisi tersebut merupakan adaptasi dari sebuah episode kisah Mahabharata dan memberikan pengaruh penting bagi alam pikir Jawa.
Gagasan dari puisi Arjunawiwaha adalah tentang kemenangan Arjuna, yakni seorang anak laki-laki ketiga dari lima bersaudara Pandawa, atas Niwatakawaca dan atas para raksasa. Puisi tersebut juga berkisah tentang perlawanan Arjuna terhadap Dewa Indra, pengangkatan dirinya sebagai Raja Khayangan dan perkawinannya dengan tujuh peri (nymph) yang senantiasa mencoba mengggodanya selama ia menjalani kehidupan asketis.
Arjunawiwaha mengandung pelajaran tentang seorang ksatria yang juga berlaku sebagai seorang pendeta. Ia wajib melakukan praktik asketisme dalam rangka meningkatkan akal budi dan mencapai kesempurnaan yang nyata. Dengan cara meditasi, ia mencari perjumpaan dengan Sang Ilahi dan mendapatkan kesadaran akan ketidaknyataan dunia (maya). Akan tetapi, ia tidaklah sungguh-sungguh terpisah dari dunia. Ia justru kembali ke dalam dunia itu untuk mewujudnyatakan kemengadaan yang mendunia demi kebahagiaan manusia. Maka ia pun mengemban kewajiban (dharma) seorang ksatria. Dalam pemenuhan dharma-nya tersebut, ia harus memurnikan jiwanya secara permanen, yakni dengan tidak mengikuti keinginan hasratnya yang dapat menyebabkan kehancuran dan kemalangan.
Konsepsi tentang Tuhan dalam Arjunawiwaha merupakan konsepsi indo-jawa. Tuhan adalah segala yang meliputi seluruh dunia. Ia merupakan Ada tertinggi yang mempengaruhi seluruh makhluk ciptaan. Ia hadir dalam yang ada serta yang non-ada, dalam yang kasar serta yang lembut, dalam yang jahat serta yang baik. Ia merupakan awal serta akhir dari segala yang ada. Ia adalah Ada yang tak terperikan (atma) dari dunia fenomenal serta dunia nomenal. Hanya manusia yang hatinya murni yang dapat berjumpa dengan Sang Ilahi. Gambaran Tuhan terpancar dari hati yang jernih. Untuk dapat mencapai Yang Ilahi, seorang manusia mesti menanggalkan segala kehendaknya, sebab Tuhan berada di atas segala yang manusia dapat gapai, pikirkan, atau pahami.
Oleh: Kuntara Wiryamartana
[1] Diterjemahkan dari: Denis Huisman, Dictionnaire des philosophes, K-Z, Paris: Presses Universitaires de France, 1984, p. 1403-1404.
Sosok
religius, tokoh politik, dan negarawan Indonesia, lahir di Sumatera Barat. Ia
sudah menjadi jurnalis sejak usia muda dengan nama samaran, A. Mukhlis.
Berbagai tulisannya mencerminkan pula berbagai macam minat dan ketertarikannya.
Ia mencapai puncak karir politiknya ketika menjadi Perdana Menteri Republik
Indonesia dan “orang pertama” di pemerintahan liberal parlementer pada
1951-1952. Ia juga mengemban tanggung jawab sebagai presiden partai islami,
Masyumi, sampai pembubarannya pada 1960. Setelah pensiun dari politik, ia aktif
dalam ranah dakwah Islam, yakni sebagai presiden Dewan Dakwah Islam Indonesia.
Selama menjadi perwakilan organisasi itu pula, ia menjadi anggota sejumlah
lembaga islami internasional, yaitu wakil presiden Mu’tamar ‘Alam Islami, anggota Dewan Pendiri Rabitah al-‘Alam al-Islami di Mekah, serta anggota Dewan Eksekutif
dari Dewan Mesjid Sedunia.
Soekarno, 1901-1971
Presiden
pertama Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 1945. Ia lahir di sebuah
desa kecil dekat Surabaya (Jawa Timur) dalam sebuah keluarga pendidik. Pada
masa kecil, ia sudah akrab dengan politik manakala ia tinggal di Surabaya di
rumah H. O. S. Tjokroaminoto, pendiri Syarikat Islam. Kisaran tahun 1921, di
sekolah tinggi teknik di Bandung, setelah meraih gelar sarjana teknik sipil, ia
aktif menyebarluaskan nilai-nilai nasionalis yang membuatnya beberapa kali dijebloskan
ke dalam penjara dan diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Di depan
pengadilan Belanda, ia menyatakan sebuah pembelaan (pledoi) berupa sebuah
gagasan anti-imprealis. Pembelaannya ini terkenal dalam karya politik
internasional dan berjudul “Indonesia Menggugat”. Pendudukan militer Jepang
pada 1942 mengakhiri pengasingan yang telah ia jalani sejak 1933. Selanjutnya,
ia memakai taktik kolaborasi dengan pemerintah militer Jepang dalam rangka memperoleh
kebebasan untuk menggerakkan massa dan untuk menyebarluaskan pendidikan
politik. Saat kekalahan Jepang, ia memproklamasikan kemerdekaan Republik
Indonesia pada Agustus 1945 dan menjadi Presiden pertamanya. Karisma serta
kefasihan berpidato Soekarno membuatnya mampu membangkitkan kekuataan rakyat dan
melawan musuh-musuh politik dari dalam serta luar negeri, sebagaimana pula ia
mampu menyatukan sebuah bangsa dengan satu ideologi nasional sebagai dasar
negara.
Ideologi
menurut pemikiran Soekarno mendasarkan diri pada beberapa gagasan berikut ini:
- Negara wajib berlandaskan
pada suatu “pandangan hidup” yang digali dari nilai budaya nasional;
- Persatuan dan kesatuan
bangsa adalah kunci untuk mengatasi segala pertentangan dan perbedaan di
antara budaya daerah yang beragam;
- Marxisme sebagai
perangkat intelektual merupakan pisau bedah analisis terhadap berbagai
masalah dan kenyataan hidup bangsa yang terjajah. Marxisme memiliki daya
yang dibutuhkan untuk menggerakkan suatu potensi kebangsaan;
- Kehidupan religius
adalah realitas konkret yang telah mendarah daging di masyarakat
Indonesia.
Demikianlah hal tersebut terwujud menjadi sebuah
sintesis yang disebut Pancasila (Panca berarti lima, Sila berarti dasar), yakni
lima prinsip negara yang terdiri: nasionalisme Indonesia, internasionalisme
atau kemanusiaan, kerakyatan atau demokrasi; keadilan sosial, dan ketuhanan
yang esa. Prinsip-prinsip ini tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945.
Sebagai
seorang muslim, seorang murid didikan tradisi budaya Jawa, seorang yang
berideologi nasional, dan seorang simpatisan Marxisme, Soekarno menciptakan
Pancasila sebagai gabungan unsur-unsur tradisional dan modern, yang menyatu
dalam sebuah prinsip gotong royong, yakni sebuah etika kerja sama dalam sebuah
masyarakat seperti halnya kaidah dalam kehidupan berkomunitas sebuah desa.
Ideologi proletariat itu disebut pula dengan Marhaenisme (dari nama seorang
petani miskin: Marhaen, lantas diambil menjadi sebutan umum yang menunjukkan
kondisi orang-orang yang tertindas). Paham Paham Marhaenisme memiliki karakter yang
revolusioner, anti-kapitalis serta anti-kolonialis, dan membentuk sebuah
“sosialisme Indonesia”.
Pada
masa pemerintahan Soekarno, lahir ide tentang Konferensi Asia-Afrika yang
bertujuan untuk menegaskan sikap internasional berupa solidaritas ideologis dalam
menghadapi neo-kolonialisme dan yang menjadi “kekuataan baru” sebagai
alternatif atas tegangan antara blok kapitalis dan blok komunis.
Di
dalam negeri, ia menampik demokrasi versi Barat macam demokrasi parlementer
dan, setelah membubarkan parlemen pada tahun 1959, menerapkan gagasannya
tentang “demokrasi terpimpin” yang berlandaskan pada prinsip gotong royong dan
mufakat. Ia menyatukan kembali kekuatan-kekuatan politik nasional dalam sebuah
program Nasakom, yakni persatuan partai politik yang nasionalis, religius, dan
komunis, yang akhirnya terpecah pada tahun 1965. Krisis politik menyebabkan
Soekarno lengser dari kursi kepemimpinannya pada 1967. Hal itu merupakan
konsekuensi dari keyakinan politisnya tersebut. Ia wafat pada 1971 dan dikenang
sebagai Proklamator Kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Oleh: Soerjanto Poespowardoyo
[1] Diterjemahkan dari: Denis Huisman, Dictionnaire
des philosophes, K-Z, Paris: Presses Universitaires de France, 1984, p.
2405-2406.
Muhammad Natsir,
1908-1993
Dalam
gerakan keagamaan di Indonesia, ia adalah salah seorang yang merepresentasikan
organisasi Persatuan Islam yang kuat dipengaruhi oleh Ibn Taimiyyah dan
Muhammad Abdul Wahhab. Ia memiliki sikap yang teguh dalam hal masalah
keagamaan, begitu halnya dalam mempertahankan pandangan islami yang terkait
dengan beragam pertanyaan sosial dan politik. Hal tersebut tampak dari konsepsi
hidupnya yang taat secara ekstrim dan dari sikap politisnya yang ketat. Dengan
demikian, kehidupan pribadinya menampilkan kesederhanaan dan kebersahajaan.
Kumpulan
karya tulisnya yang penting, Capita
Selecta, buku yang dicetak dalam tiga edisi pada 1955, menggambarkan secara
jelas pandangan filosofisnya yang kuat terpengaruh oleh gagasan skolastik Aqidah Ashariyah (Pernyataan Iman Ashari).
Ia menolak pemakaian istilah “teologi” untuk menyusun teori tentang Yang Ilahi
dalam Islam, sebab menurutnya kata itu tidak mencakup semua dimensi tentang
Yang Ilahi.
Sebagai
pemikir yang meneliti tentang penerapan Pernyataan Iman Ashari dalam
kompleksitas ilmu pengetahuan dan teknologi modern bersama dengan seluruh
konsekuensinya dalam kehidupan moral dan etika sosial, ia tampak sebagai
seorang taat yang memperteguh imannya untuk mengasimilasikan segala akibat dari
proses modernisasi, dalam rangka memberikan kontribusi bagi kesejahateraan
hidup manusia. Pandangan neo-ashari ini khususnya terungkap dalam sejumlah
tulisannya tentang filsafat menurut Islam.
Oleh: Abdurrahman Wahid
[1] Diterjemahkan dari: Denis Huisman, Dictionnaire
des philosophes, K-Z, Paris: Presses Universitaires de France, 1984, p.
1902.
Paku Buwana IV,
?-1820
Pangeran
Surakarta (Jawa Tengah, Indonesia), pengarang beberapa puisi Jawa yang sangat
indah yang menyangkut pokok-pokok filsafat dan moral. Puisinya yang paling
terkenal dan masih sangat dihargai dalam masyarakat Jawa adalah Serat Wulang Reh. Puisi tersebut adalah
tentang pelajaran cara hidup yang adil, tentang tradisi kejawaan, dan dalam
kaitannya dengan hormat terhadap yang tertinggi.
Oleh: Abdullah Ciptoprawiro
[1] Diterjemahkan dari: Denis Huisman, Dictionnaire
des philosophes, K-Z, Paris: Presses Universitaires de France, 1984, p.
1984.
Lahir
di Jawa Tengah (Indonesia). Ia menyelesaikan studinya tentang hukum dan
keindonesiaan di Universitas Leiden (Belanda). Ia-lah yang memulai pembentukkan
Universitas Gajah Mada di Yogyakarta (1949) dan yang menjadi juri yang memberikan
gelar doktor honoris causa dalam
bidang hukum kepada Soekarno, proklamator kemerdekaan dan presiden pertama
Republik Indonesia.
Notonagoro,
1905-(1981)
Pada
1968, ia membuka Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, dalam kaitannya
dengan gagasannya bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang fundamental dan
elemen penyatu semua ilmu pengetahuan. Filsafat yang ia kembangkan adalah
filsafat Pancasila (menurut pandangan Soekarno) seperti filsafat hukum dan
etika. Notonagoro menerima gelar doktor honoris
causa dalam bidang filsafat dari universitas yang didirikannya pada 1973.
Filsafat
Pancasila menampilkan sudut pandang orang Indonesia dalam berhadapan dengan
dirinya sendiri, sesamanya, alam semesta, dan Tuhan. Filsafat Pancasila
diekpresikan oleh keadilan sosial, demokrasi, nasionalisme, humanisme, dan
monoteisme sebagaimana tertuang dalam lima nilai dasar (Panca = lima, Sila =
dasar) yang independen satu sama lain, tetapi pada saat yang bersamaan
merupakan nilai yang membentuk entitas khas: entitas yang hidup berdasarkan
elemen-eleman yang tak terpisahkan dan memiliki kedudukannya masing-masing
tanpa saling berkontradiksi. Pancasila diwujudkan dalam etika hubungan sesama
manusia, dalam kebiasaan dan adat-istiadat, dalam kebudayaan, dan dalam bidang
agama. Pancasila tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia yang telah diterima sebagai norma fundamental negara, yang dinyatakan
satu kali untuk selamanya, yang tidak dapat dimodifikasi serta dibatalkan.
Selain
menjadi dasar yuridis bagi negara, filsafat Pancasila menampilkan pula sebuah
etika: moral Pancasila. Berdasarkan moral ini, manusia dipandang sebagai sosok
yang memenuhi kebutuhan hidup raga dan jiwanya secara individual sebagaimana ia
hidup secara sosial, demikian halnya dengan berbagai kebutuhan hidup religius
dalam keseimbangan yang harmonis dan dinamis.
Oleh: Djuretna Imam Muhni
[1] Diterjemahkan dari: Denis Huisman, Dictionnaire
des philosophes, K-Z, Paris: Presses Universitaires de France, 1984, p.
1950-1951.
Mpu Tantular, Abad
ke-14
Penyair
kontemporer pada masa kekuasaan Hayam Wuruk (1350-1389), raja Majapahit (Jawa
Timur, Indonesia). Ia terkenal akan dua puisi Jawa Kuno, Arjunawijaya dan Sutasoma.
Arjunawijaya merupakan adaptasi dalam
prosa Jawa Kuno dari sebuah kisah yang berasal dari India, Ramayana. Kisah
tersebut berkisah tentang kemenangan Dasamukha (atau Rahwana) atas anak
laki-lakinya, Waisrawana, lalu kemenangan Arjuna Sahasrabahu atas Dasamukha.
Kakek Dasamukha, yaitu Pulastya, memohon kepada Arjuna Sahasrabahu agar
mengampuni dan membebaskan cucunya itu.
Sutasoma adalah puisi yang bersifat
mendidik tentang jalan kesempurnaan Buddhis. Rasa cinta terhadap semua ciptaan,
kasih sayang dan tanpa kekerasan dari Buddha berinkarnasi dalam sosok pangeran Sutasoma,
mengatasi kekuatan destruktif dari Siwa berinkarnasi ke dalam wujud Kala, sehingga yang disebut terakhir ini memeluk
pula asketisme berdasarkan hukum “Kendaraan Besar” (Mahayana) dari Buddhisme,
dan dengan begitu dapat menata surga baru seperti penguasa segala ciptaan
(Pasupati). Dengan membuat Kala menyerah, yakni dengan cara menelannya,
pangeran Sutosama memperoleh penyesalan dari si raksasa tersebut. Jenis
kisah-kisah seperti ini ditemukan pula dalam beragam jataka dari literatur Buddhis; akan tetapi karya Mpu Tantular
tampaknya tidak menginspirasikan secara langsung kisah-kisah ini, sebab
karyanya itu menggambarkan perkembangan lebih lanjut dari pembelajaran
“Kendaraan Besar” Buddhisme. Pangeran Sutasoma sendiri bukanlah seorang
boddhisattwa: ia adalah Buddha itu sendiri dalam rupa manusia.
Kekhasan
dari Buddhisme Mahayana diungkapkan dalam kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, yakni hubungannya yang erat dengan
paham siwaisme di Jawa pada masa Majapahit (abad ke-13 sampai ke-15). Hubungan
ini diungkapkan dalam sebuah kalimat puisi terkenal: “mangka ng Jinatwa kalawan Siwatattwa tunggal, bhinneka tunggal ika tan
hana dharma mangrwa”, artinya, “Maka realitas Buddha dan realitas Siwa
adalah satu; walaupun berbeda, keduanya itu satu; pada kenyataannya, tidak ada
dualitas” (Chant 139, 5). Realitas Buddha dan Siwa itu khas, keduanya merupakan
jalan: Buddhisme dan Siwaisme, mengarahkan manusia pada tujuan yang sama.
Siwaisme
memandu kepada pembebasan (moksa)
lewat enam tingkat yoga (sad-angga-yoga).
Manusia akan mencapai itu melalui delapan jalan kesempurnaan atau kekuatan
khusus. Seandainya manusia tersebut tidak mendapat kekuatan itu, namun menjaga
kehendaknya untuk mengabaikan dunia yang tidak abadi (mortel), ia mencapai tujuannya yang berupa kekosongan (Sunya-rypa) dan kesadaran yang jernih
tentang Realitas Absolut (paramartha-tattwa).
Jalan Buddhis juga sebagai jalan yang memandu pada keadaan Buddha melalui
non-dualitas yoga (adwaya-yoga). Yoga
inilah yang mendorong kelahiran Buddha (diwangga),
yakni Buddha dalam Realitas yang Tertinggi (paramartha-Buddha),
berkat penyatuan antara: yang non-dualitas (adwaya)
– seperti laki-laki di satu sisi – dengan kesadaran atau perwujudan yang jernih
tentang non-dualitas (adwaya-jnana,
atau prajna-paramita, kesempurnaan
kebijaksanaan) – seperti perempuan di sisi yang lainnya. Maka, manusia mencapai
keadaan atau tingkatan Buddha berkat kesadaran yang jernih atas non-dualitas.
Adalah
ungkapan yang berasal dari Mpu Tantular, seperti yang telah disebut di atas,
bahwa semboyan Republik Indonesia adalah Bhinneka
Tunggal Ika, (persatuan dalam keberagaman).
Oleh: Kuntara Wiryamartana
[1] Diterjemahkan dari: Denis Huisman, Dictionnaire
des philosophes, K-Z, Paris: Presses Universitaires de France, 1984, p. 2465.
Pangeran
Surakarta (Jawa Tengah, Indonesia), dikenal atas puisi-puisinya terutama yang
paling terkenal adalah Wedhatama yang dedikasikan untuk para penerusnya dan
memuat sebuah pelajaran mengenai cara membentuk kesempurnaan dengan mengikuti
tradisi Jawa; Wedhatama memuat pula sebuah pelajaran mistis Jawa tentang
kesatuan antara manusia dan Tuhan.
Ranggawarsita, 1802-1873
Cicit
dari Yasadiputra I, lahir dengan nama Bagus Burham. Ia memperoleh nama
Ranggawarsita ketika ia bekerja di Surakarta. Ia menguasai bahasa Arab dan
Belanda dan menulis dalam bahasa Jawa tentang beragam topik seperti sejarah, evolusi
teater bayangan, sejumlah prediksi, berbagai perumpaan Jawa, dan filsafat
religi. Karyanya yang terpenting adalah Serat
Wirid Hidayat Jati yang memuat sebuah pelajaran tentang para musulman Jawa
yang suci (Wali). Pemikiran filosofis
yang diekspresikan dalam karyanya ini mencakup metafisika, antropologi, dan
etika
Ontologi
Ranggawarsita mulai dengan kekosongan, kenyataan yang pertama adalah Tuhan
sebagai Realitas Ada yang absolut yang memiliki kualitas yang kudus, yang dinamakan
sebagai Tuhan dan yang merujuk pada Hasil Ciptaan-Nya, seperti pembukaan
jalan-Nya. Menjadi manusia merepresentasikan perasaan-Nya karena menjadi
manusia artinya diciptakan menurut empat elemen, yakni tanah, api, udara, dan
air yang mewujudkan kekudusan-Nya. Maka dari itu, pada seorang manusia
terkandung lima elemen yang subtil, yaitu cahaya, perasaan, jiwa, semangat, dan
akal budi. Elemen-elemen tersebut ibarat selubung wajah-Nya yang penuh
kemuliaan. Tubuh seorang manusia sendiri ditata ke dalam tiga tempat tinggal: Baitul Makmur (kuil dari pikiran) di
dalam kepala; Baitul Muharram (kuil
bersemayamnya perasaan yang lebih mendalam) di dalam dada dan Baitul Mukaddas (kuil dari kehendak) di
dalam kelamin. Maka, manusia yang sempurna adalah yang terdiri dari tujuh
elemen: kehidupan, cahaya, perasaan, jiwa, semangat, akal budi, dan tubuh.
Penciptaan manusia membentuk sebuah siklus yang, mulai dari yang awal sampai
yang akhir, dari yang berada di bawah kemudian meningkat naik: mulai dari
Manusia Sempurna (Insan Kamil) dalam
Dunia Tubuh-tubuh, Dunia Bentuk-bentuk, Dunia Jiwa-jiwa, Dunia
Tindakan-tindakan yang Suci, Dunia Sifat-sifat yang Suci, Dunia Kesatuan yang
Suci, dan yang kembali lagi ke Manusia Sempurna.
Etika
Ranggawarsita adalah sebuah aturan arahan yang memungkinkan transformasi
manusia biasa menjadi Manusia Sempurna (Insan
Kamil) dengan melalui sebuah hidup asketis dan praktik meditasi (manekung). Ranggawarsita menyatakan
bahwa aspirasi spiritual tentang Tuhan ini seperti perjalanan mistis yang asali
menuju yang asali. Dalam Wirid Hidayat
Jati diungkapkan sebuah ilmu pengetahuan tentang kesadaran untuk mencapai
kesempurnaan hidup (ngelmu ma’rifat
kasampurnaning ngaurip), di mana kesadaran merepresentasikan tingkat yang
lebih tinggi dalam pencarian Tuhan.
Istilah
dan konsep-konsep yang dipakai oleh Ranggawarsita untuk sebagian besar meminjam
dari Qur’an dan tradisi nabi-nabi di Arab; dicampur dengan istilah-istilah
Jawa, istilah-istilah ini membentuk kosa kata musulman Jawa yang mistis. Seperti
halnya, konsepsi spiritual, istilah-istilah itu dipahami lebih baik dengan
logika paradoksal daripada dengan logika tradisional aristotelian.
Dalam
sastra Jawa, simbolisme Ranggawarsita diteruskan sebagai warisan budaya dan
kekuatan provokasinya masih terkenal hari ini. Beberapa contoh: kehidupan
seperti “setangkai bunga yang mekar di langit”, cahaya seperti “kembang lili
air yang tumbuh tanpa danau”, perasaan-perasaan seperti “sebuah api yang
berkobar di tengah samudera laut”, akal budi seperti “seekor kuda yang berlari
dalam pacuannnya”, tubuh seperti “seekor katak yang ditutupi oleh lubangnya
adalah yang menutupi lubangnya itu”.
Oleh: Abdullah Ciptoprawiro
[1] Diterjemahkan dari: Denis Huisman, Dictionnaire
des philosophes, K-Z, Paris: Presses Universitaires de France, 1984, p. 2191.
Mangku Negara
IV, 1809-1881
Oleh: Abdullah Ciptoprawiro
[1] Diterjemahkan dari: Denis Huisman, Dictionnaire
des philosophes, K-Z, Paris: Presses Universitaires de France, 1984, p. 1735-1736.
Nicolaus Driyarkara, 1913-1967
N.
Driyarkara lahir
di Kedunggubah (Jawa Tengah,
Indonesia). Ia meninggal di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah, 11 Februari 1967.
Diryarkara belajar filsafat
di Seminari Tinggi Yogyakarta (Indonesia) dan teologi di Maastricht (Belanda). Kemudian,
ia memperoleh gelar doktor ilmu filsafat dari Universitas Gregoriana, Roma, dengan disertasi mengenai
filsafat Malebranche.
Kontribusi Driyarkara bagi
perkembangan filsafat di Indonesia sangat penting karena dua hal. Pertama, ia mengenalkan filsafat Barat
kotemporer, termasuk eksistensialisme dan fenomenologi di negaranya. Kedua, Driyarkara berhasil menciptakan
berbagai kosakata filosofis modern dalam bahasa Indonesia.
Filsafat Driyarkara dipengaruhi dan merupakan sintesis neo-Thomisme
(terutama J. Marshal); eksistensialisme (M. Heidegger, Gabriel Marcel); dan
fenomenologi (Merleau-Ponty, Max Scheler). Ia sendiri menjelaskan metode
filsafatnya sebagai fenomenologi transendental.
Cakupan tulisan-tulisan Driyarkara berkisar tentang kebebasan, manusia,
dan dasar-dasar etika. Ia merancang dan menyajikan analisis-analisisnya dalam
konteks bahasa dan budaya Indonesia. Refleksi tulisannya didasarkan pada
prinsip-prinsip:
- Manusia adalah
seorang individu, bukan entitas yang terfragmentasi dengan kontrol diri,
- Manusia sebagai
individu di dalam dunia harus terus membentuk dunia,
- Manusia adalah
makhluk sejarah, dan
- Keseluruhan proses tersebut
merupakan akulturasi (humanisasi) secara dialektis.
[1] Denis Huisman, Dictionnaire des
philosophes, A-J, Paris: Presses Universitaires de France, 1984, p. 778.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar