Selasa, 05 Agustus 2014

Mpu Kanwa

Mpu Kanwa, Abad ke-11

            Mpu Kanwa merupakan seorang penyair yang hidup di era kekuasaan raja Jawa Timur di Indonesia, yakni Raja Airlangga (1019-1049). Mpu Kanwa adalah seorang pengarang puisi Jawa Kuno yang berjudul Arjunawiwaha. Puisi tersebut merupakan adaptasi dari sebuah episode kisah Mahabharata dan memberikan pengaruh penting bagi alam pikir Jawa.
            Gagasan dari puisi Arjunawiwaha adalah tentang kemenangan Arjuna, yakni seorang anak laki-laki ketiga dari lima bersaudara Pandawa, atas Niwatakawaca dan atas para raksasa. Puisi tersebut juga berkisah tentang perlawanan Arjuna terhadap Dewa Indra, pengangkatan dirinya sebagai Raja Khayangan dan perkawinannya dengan tujuh peri (nymph) yang senantiasa mencoba mengggodanya selama ia menjalani kehidupan asketis.
            Arjunawiwaha mengandung pelajaran tentang seorang ksatria yang juga berlaku sebagai seorang pendeta. Ia wajib melakukan praktik asketisme dalam rangka meningkatkan akal budi dan mencapai kesempurnaan yang nyata. Dengan cara meditasi, ia mencari perjumpaan dengan Sang Ilahi dan mendapatkan kesadaran akan ketidaknyataan dunia (maya). Akan tetapi, ia tidaklah sungguh-sungguh terpisah dari dunia. Ia justru kembali ke dalam dunia itu untuk mewujudnyatakan kemengadaan yang mendunia demi kebahagiaan manusia. Maka ia pun mengemban kewajiban (dharma) seorang ksatria. Dalam pemenuhan dharma-nya tersebut, ia harus memurnikan jiwanya secara permanen, yakni dengan tidak mengikuti keinginan hasratnya yang dapat menyebabkan kehancuran dan kemalangan.
            Konsepsi tentang Tuhan dalam Arjunawiwaha merupakan konsepsi indo-jawa. Tuhan adalah segala yang meliputi seluruh dunia. Ia merupakan Ada tertinggi yang mempengaruhi seluruh makhluk ciptaan. Ia hadir dalam yang ada serta yang non-ada, dalam yang kasar serta yang lembut, dalam yang jahat serta yang baik. Ia merupakan awal serta akhir dari segala yang ada. Ia adalah Ada yang tak terperikan (atma) dari dunia fenomenal serta dunia nomenal. Hanya manusia yang hatinya murni yang dapat berjumpa dengan Sang Ilahi. Gambaran Tuhan terpancar dari hati yang jernih. Untuk dapat mencapai Yang Ilahi, seorang manusia mesti menanggalkan segala kehendaknya, sebab Tuhan berada di atas segala yang manusia dapat gapai, pikirkan, atau pahami.
Oleh: Kuntara Wiryamartana




[1] Diterjemahkan dari: Denis Huisman, Dictionnaire des philosophes, K-Z, Paris: Presses Universitaires de France, 1984, p. 1403-1404.



Soekarno, 1901-1971

         
            Presiden pertama Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 1945. Ia lahir di sebuah desa kecil dekat Surabaya (Jawa Timur) dalam sebuah keluarga pendidik. Pada masa kecil, ia sudah akrab dengan politik manakala ia tinggal di Surabaya di rumah H. O. S. Tjokroaminoto, pendiri Syarikat Islam. Kisaran tahun 1921, di sekolah tinggi teknik di Bandung, setelah meraih gelar sarjana teknik sipil, ia aktif menyebarluaskan nilai-nilai nasionalis yang membuatnya beberapa kali dijebloskan ke dalam penjara dan diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Di depan pengadilan Belanda, ia menyatakan sebuah pembelaan (pledoi) berupa sebuah gagasan anti-imprealis. Pembelaannya ini terkenal dalam karya politik internasional dan berjudul “Indonesia Menggugat”. Pendudukan militer Jepang pada 1942 mengakhiri pengasingan yang telah ia jalani sejak 1933. Selanjutnya, ia memakai taktik kolaborasi dengan pemerintah militer Jepang dalam rangka memperoleh kebebasan untuk menggerakkan massa dan untuk menyebarluaskan pendidikan politik. Saat kekalahan Jepang, ia memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada Agustus 1945 dan menjadi Presiden pertamanya. Karisma serta kefasihan berpidato Soekarno membuatnya mampu membangkitkan kekuataan rakyat dan melawan musuh-musuh politik dari dalam serta luar negeri, sebagaimana pula ia mampu menyatukan sebuah bangsa dengan satu ideologi nasional sebagai dasar negara.
            Ideologi menurut pemikiran Soekarno mendasarkan diri pada beberapa gagasan berikut ini:
  1. Negara wajib berlandaskan pada suatu “pandangan hidup” yang digali dari nilai budaya nasional;
  2. Persatuan dan kesatuan bangsa adalah kunci untuk mengatasi segala pertentangan dan perbedaan di antara budaya daerah yang beragam;
  3. Marxisme sebagai perangkat intelektual merupakan pisau bedah analisis terhadap berbagai masalah dan kenyataan hidup bangsa yang terjajah. Marxisme memiliki daya yang dibutuhkan untuk menggerakkan suatu potensi kebangsaan;
  4. Kehidupan religius adalah realitas konkret yang telah mendarah daging di masyarakat Indonesia.

Demikianlah hal tersebut terwujud menjadi sebuah sintesis yang disebut Pancasila (Panca berarti lima, Sila berarti dasar), yakni lima prinsip negara yang terdiri: nasionalisme Indonesia, internasionalisme atau kemanusiaan, kerakyatan atau demokrasi; keadilan sosial, dan ketuhanan yang esa. Prinsip-prinsip ini tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
            Sebagai seorang muslim, seorang murid didikan tradisi budaya Jawa, seorang yang berideologi nasional, dan seorang simpatisan Marxisme, Soekarno menciptakan Pancasila sebagai gabungan unsur-unsur tradisional dan modern, yang menyatu dalam sebuah prinsip gotong royong, yakni sebuah etika kerja sama dalam sebuah masyarakat seperti halnya kaidah dalam kehidupan berkomunitas sebuah desa. Ideologi proletariat itu disebut pula dengan Marhaenisme (dari nama seorang petani miskin: Marhaen, lantas diambil menjadi sebutan umum yang menunjukkan kondisi orang-orang yang tertindas). Paham Paham Marhaenisme memiliki karakter yang revolusioner, anti-kapitalis serta anti-kolonialis, dan membentuk sebuah “sosialisme Indonesia”.
            Pada masa pemerintahan Soekarno, lahir ide tentang Konferensi Asia-Afrika yang bertujuan untuk menegaskan sikap internasional berupa solidaritas ideologis dalam menghadapi neo-kolonialisme dan yang menjadi “kekuataan baru” sebagai alternatif atas tegangan antara blok kapitalis dan blok komunis.
            Di dalam negeri, ia menampik demokrasi versi Barat macam demokrasi parlementer dan, setelah membubarkan parlemen pada tahun 1959, menerapkan gagasannya tentang “demokrasi terpimpin” yang berlandaskan pada prinsip gotong royong dan mufakat. Ia menyatukan kembali kekuatan-kekuatan politik nasional dalam sebuah program Nasakom, yakni persatuan partai politik yang nasionalis, religius, dan komunis, yang akhirnya terpecah pada tahun 1965. Krisis politik menyebabkan Soekarno lengser dari kursi kepemimpinannya pada 1967. Hal itu merupakan konsekuensi dari keyakinan politisnya tersebut. Ia wafat pada 1971 dan dikenang sebagai Proklamator Kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Oleh: Soerjanto Poespowardoyo





[1] Diterjemahkan dari: Denis Huisman, Dictionnaire des philosophes, K-Z, Paris: Presses Universitaires de France, 1984, p. 2405-2406.



Muhammad Natsir, 1908-1993

         
   Sosok religius, tokoh politik, dan negarawan Indonesia, lahir di Sumatera Barat. Ia sudah menjadi jurnalis sejak usia muda dengan nama samaran, A. Mukhlis. Berbagai tulisannya mencerminkan pula berbagai macam minat dan ketertarikannya. Ia mencapai puncak karir politiknya ketika menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia dan “orang pertama” di pemerintahan liberal parlementer pada 1951-1952. Ia juga mengemban tanggung jawab sebagai presiden partai islami, Masyumi, sampai pembubarannya pada 1960. Setelah pensiun dari politik, ia aktif dalam ranah dakwah Islam, yakni sebagai presiden Dewan Dakwah Islam Indonesia. Selama menjadi perwakilan organisasi itu pula, ia menjadi anggota sejumlah lembaga islami internasional, yaitu wakil presiden Mu’tamar ‘Alam Islami, anggota Dewan Pendiri Rabitah al-‘Alam al-Islami di Mekah, serta anggota Dewan Eksekutif dari Dewan Mesjid Sedunia.
            Dalam gerakan keagamaan di Indonesia, ia adalah salah seorang yang merepresentasikan organisasi Persatuan Islam yang kuat dipengaruhi oleh Ibn Taimiyyah dan Muhammad Abdul Wahhab. Ia memiliki sikap yang teguh dalam hal masalah keagamaan, begitu halnya dalam mempertahankan pandangan islami yang terkait dengan beragam pertanyaan sosial dan politik. Hal tersebut tampak dari konsepsi hidupnya yang taat secara ekstrim dan dari sikap politisnya yang ketat. Dengan demikian, kehidupan pribadinya menampilkan kesederhanaan dan kebersahajaan.
            Kumpulan karya tulisnya yang penting, Capita Selecta, buku yang dicetak dalam tiga edisi pada 1955, menggambarkan secara jelas pandangan filosofisnya yang kuat terpengaruh oleh gagasan skolastik Aqidah Ashariyah (Pernyataan Iman Ashari). Ia menolak pemakaian istilah “teologi” untuk menyusun teori tentang Yang Ilahi dalam Islam, sebab menurutnya kata itu tidak mencakup semua dimensi tentang Yang Ilahi.
            Sebagai pemikir yang meneliti tentang penerapan Pernyataan Iman Ashari dalam kompleksitas ilmu pengetahuan dan teknologi modern bersama dengan seluruh konsekuensinya dalam kehidupan moral dan etika sosial, ia tampak sebagai seorang taat yang memperteguh imannya untuk mengasimilasikan segala akibat dari proses modernisasi, dalam rangka memberikan kontribusi bagi kesejahateraan hidup manusia. Pandangan neo-ashari ini khususnya terungkap dalam sejumlah tulisannya tentang filsafat menurut Islam.

Oleh: Abdurrahman Wahid





[1] Diterjemahkan dari: Denis Huisman, Dictionnaire des philosophes, K-Z, Paris: Presses Universitaires de France, 1984, p. 1902.



Paku Buwana IV, ?-1820

           
 Pangeran Surakarta (Jawa Tengah, Indonesia), pengarang beberapa puisi Jawa yang sangat indah yang menyangkut pokok-pokok filsafat dan moral. Puisinya yang paling terkenal dan masih sangat dihargai dalam masyarakat Jawa adalah Serat Wulang Reh. Puisi tersebut adalah tentang pelajaran cara hidup yang adil, tentang tradisi kejawaan, dan dalam kaitannya dengan hormat terhadap yang tertinggi.

Oleh: Abdullah Ciptoprawiro





[1] Diterjemahkan dari: Denis Huisman, Dictionnaire des philosophes, K-Z, Paris: Presses Universitaires de France, 1984, p. 1984.





Notonagoro, 1905-(1981)

           
Lahir di Jawa Tengah (Indonesia). Ia menyelesaikan studinya tentang hukum dan keindonesiaan di Universitas Leiden (Belanda). Ia-lah yang memulai pembentukkan Universitas Gajah Mada di Yogyakarta (1949) dan yang menjadi juri yang memberikan gelar doktor honoris causa dalam bidang hukum kepada Soekarno, proklamator kemerdekaan dan presiden pertama Republik Indonesia.
            Pada 1968, ia membuka Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, dalam kaitannya dengan gagasannya bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang fundamental dan elemen penyatu semua ilmu pengetahuan. Filsafat yang ia kembangkan adalah filsafat Pancasila (menurut pandangan Soekarno) seperti filsafat hukum dan etika. Notonagoro menerima gelar doktor honoris causa dalam bidang filsafat dari universitas yang didirikannya pada 1973.
            Filsafat Pancasila menampilkan sudut pandang orang Indonesia dalam berhadapan dengan dirinya sendiri, sesamanya, alam semesta, dan Tuhan. Filsafat Pancasila diekpresikan oleh keadilan sosial, demokrasi, nasionalisme, humanisme, dan monoteisme sebagaimana tertuang dalam lima nilai dasar (Panca = lima, Sila = dasar) yang independen satu sama lain, tetapi pada saat yang bersamaan merupakan nilai yang membentuk entitas khas: entitas yang hidup berdasarkan elemen-eleman yang tak terpisahkan dan memiliki kedudukannya masing-masing tanpa saling berkontradiksi. Pancasila diwujudkan dalam etika hubungan sesama manusia, dalam kebiasaan dan adat-istiadat, dalam kebudayaan, dan dalam bidang agama. Pancasila tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang telah diterima sebagai norma fundamental negara, yang dinyatakan satu kali untuk selamanya, yang tidak dapat dimodifikasi serta dibatalkan.
            Selain menjadi dasar yuridis bagi negara, filsafat Pancasila menampilkan pula sebuah etika: moral Pancasila. Berdasarkan moral ini, manusia dipandang sebagai sosok yang memenuhi kebutuhan hidup raga dan jiwanya secara individual sebagaimana ia hidup secara sosial, demikian halnya dengan berbagai kebutuhan hidup religius dalam keseimbangan yang harmonis dan dinamis.

Oleh: Djuretna Imam Muhni






[1] Diterjemahkan dari: Denis Huisman, Dictionnaire des philosophes, K-Z, Paris: Presses Universitaires de France, 1984, p. 1950-1951.




Mpu Tantular, Abad ke-14

            Penyair kontemporer pada masa kekuasaan Hayam Wuruk (1350-1389), raja Majapahit (Jawa Timur, Indonesia). Ia terkenal akan dua puisi Jawa Kuno, Arjunawijaya dan Sutasoma.
            Arjunawijaya merupakan adaptasi dalam prosa Jawa Kuno dari sebuah kisah yang berasal dari India, Ramayana. Kisah tersebut berkisah tentang kemenangan Dasamukha (atau Rahwana) atas anak laki-lakinya, Waisrawana, lalu kemenangan Arjuna Sahasrabahu atas Dasamukha. Kakek Dasamukha, yaitu Pulastya, memohon kepada Arjuna Sahasrabahu agar mengampuni dan membebaskan cucunya itu.
            Sutasoma adalah puisi yang bersifat mendidik tentang jalan kesempurnaan Buddhis. Rasa cinta terhadap semua ciptaan, kasih sayang dan tanpa kekerasan dari Buddha berinkarnasi dalam sosok pangeran Sutasoma, mengatasi kekuatan destruktif dari Siwa berinkarnasi ke dalam wujud Kala,  sehingga yang disebut terakhir ini memeluk pula asketisme berdasarkan hukum “Kendaraan Besar” (Mahayana) dari Buddhisme, dan dengan begitu dapat menata surga baru seperti penguasa segala ciptaan (Pasupati). Dengan membuat Kala menyerah, yakni dengan cara menelannya, pangeran Sutosama memperoleh penyesalan dari si raksasa tersebut. Jenis kisah-kisah seperti ini ditemukan pula dalam beragam jataka dari literatur Buddhis; akan tetapi karya Mpu Tantular tampaknya tidak menginspirasikan secara langsung kisah-kisah ini, sebab karyanya itu menggambarkan perkembangan lebih lanjut dari pembelajaran “Kendaraan Besar” Buddhisme. Pangeran Sutasoma sendiri bukanlah seorang boddhisattwa: ia adalah Buddha itu sendiri dalam rupa manusia.
            Kekhasan dari Buddhisme Mahayana diungkapkan dalam kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, yakni hubungannya yang erat dengan paham siwaisme di Jawa pada masa Majapahit (abad ke-13 sampai ke-15). Hubungan ini diungkapkan dalam sebuah kalimat puisi terkenal: “mangka ng Jinatwa kalawan Siwatattwa tunggal, bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”, artinya, “Maka realitas Buddha dan realitas Siwa adalah satu; walaupun berbeda, keduanya itu satu; pada kenyataannya, tidak ada dualitas” (Chant 139, 5). Realitas Buddha dan Siwa itu khas, keduanya merupakan jalan: Buddhisme dan Siwaisme, mengarahkan manusia pada tujuan yang sama.
            Siwaisme memandu kepada pembebasan (moksa) lewat enam tingkat yoga (sad-angga-yoga). Manusia akan mencapai itu melalui delapan jalan kesempurnaan atau kekuatan khusus. Seandainya manusia tersebut tidak mendapat kekuatan itu, namun menjaga kehendaknya untuk mengabaikan dunia yang tidak abadi (mortel), ia mencapai tujuannya yang berupa kekosongan (Sunya-rypa) dan kesadaran yang jernih tentang Realitas Absolut (paramartha-tattwa). Jalan Buddhis juga sebagai jalan yang memandu pada keadaan Buddha melalui non-dualitas yoga (adwaya-yoga). Yoga inilah yang mendorong kelahiran Buddha (diwangga), yakni Buddha dalam Realitas yang Tertinggi (paramartha-Buddha), berkat penyatuan antara: yang non-dualitas (adwaya) – seperti laki-laki di satu sisi – dengan kesadaran atau perwujudan yang jernih tentang non-dualitas (adwaya-jnana, atau prajna-paramita, kesempurnaan kebijaksanaan) – seperti perempuan di sisi yang lainnya. Maka, manusia mencapai keadaan atau tingkatan Buddha berkat kesadaran yang jernih atas non-dualitas.
            Adalah ungkapan yang berasal dari Mpu Tantular, seperti yang telah disebut di atas, bahwa semboyan Republik Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika, (persatuan dalam keberagaman).

Oleh: Kuntara Wiryamartana






[1] Diterjemahkan dari: Denis Huisman, Dictionnaire des philosophes, K-Z, Paris: Presses Universitaires de France, 1984, p. 2465.



Ranggawarsita, 1802-1873

Cicit dari Yasadiputra I, lahir dengan nama Bagus Burham. Ia memperoleh nama Ranggawarsita ketika ia bekerja di Surakarta. Ia menguasai bahasa Arab dan Belanda dan menulis dalam bahasa Jawa tentang beragam topik seperti sejarah, evolusi teater bayangan, sejumlah prediksi, berbagai perumpaan Jawa, dan filsafat religi. Karyanya yang terpenting adalah Serat Wirid Hidayat Jati yang memuat sebuah pelajaran tentang para musulman Jawa yang suci (Wali). Pemikiran filosofis yang diekspresikan dalam karyanya ini mencakup metafisika, antropologi, dan etika

Ontologi Ranggawarsita mulai dengan kekosongan, kenyataan yang pertama adalah Tuhan sebagai Realitas Ada yang absolut yang memiliki kualitas yang kudus, yang dinamakan sebagai Tuhan dan yang merujuk pada Hasil Ciptaan-Nya, seperti pembukaan jalan-Nya. Menjadi manusia merepresentasikan perasaan-Nya karena menjadi manusia artinya diciptakan menurut empat elemen, yakni tanah, api, udara, dan air yang mewujudkan kekudusan-Nya. Maka dari itu, pada seorang manusia terkandung lima elemen yang subtil, yaitu cahaya, perasaan, jiwa, semangat, dan akal budi. Elemen-elemen tersebut ibarat selubung wajah-Nya yang penuh kemuliaan. Tubuh seorang manusia sendiri ditata ke dalam tiga tempat tinggal: Baitul Makmur (kuil dari pikiran) di dalam kepala; Baitul Muharram (kuil bersemayamnya perasaan yang lebih mendalam) di dalam dada dan Baitul Mukaddas (kuil dari kehendak) di dalam kelamin. Maka, manusia yang sempurna adalah yang terdiri dari tujuh elemen: kehidupan, cahaya, perasaan, jiwa, semangat, akal budi, dan tubuh. Penciptaan manusia membentuk sebuah siklus yang, mulai dari yang awal sampai yang akhir, dari yang berada di bawah kemudian meningkat naik: mulai dari Manusia Sempurna (Insan Kamil) dalam Dunia Tubuh-tubuh, Dunia Bentuk-bentuk, Dunia Jiwa-jiwa, Dunia Tindakan-tindakan yang Suci, Dunia Sifat-sifat yang Suci, Dunia Kesatuan yang Suci, dan yang kembali lagi ke Manusia Sempurna.
            
Etika Ranggawarsita adalah sebuah aturan arahan yang memungkinkan transformasi manusia biasa menjadi Manusia Sempurna (Insan Kamil) dengan melalui sebuah hidup asketis dan praktik meditasi (manekung). Ranggawarsita menyatakan bahwa aspirasi spiritual tentang Tuhan ini seperti perjalanan mistis yang asali menuju yang asali. Dalam Wirid Hidayat Jati diungkapkan sebuah ilmu pengetahuan tentang kesadaran untuk mencapai kesempurnaan hidup (ngelmu ma’rifat kasampurnaning ngaurip), di mana kesadaran merepresentasikan tingkat yang lebih tinggi dalam pencarian Tuhan.
           
Istilah dan konsep-konsep yang dipakai oleh Ranggawarsita untuk sebagian besar meminjam dari Qur’an dan tradisi nabi-nabi di Arab; dicampur dengan istilah-istilah Jawa, istilah-istilah ini membentuk kosa kata musulman Jawa yang mistis. Seperti halnya, konsepsi spiritual, istilah-istilah itu dipahami lebih baik dengan logika paradoksal daripada dengan logika tradisional aristotelian.
            
Dalam sastra Jawa, simbolisme Ranggawarsita diteruskan sebagai warisan budaya dan kekuatan provokasinya masih terkenal hari ini. Beberapa contoh: kehidupan seperti “setangkai bunga yang mekar di langit”, cahaya seperti “kembang lili air yang tumbuh tanpa danau”, perasaan-perasaan seperti “sebuah api yang berkobar di tengah samudera laut”, akal budi seperti “seekor kuda yang berlari dalam pacuannnya”, tubuh seperti “seekor katak yang ditutupi oleh lubangnya adalah yang menutupi lubangnya itu”.

Oleh: Abdullah Ciptoprawiro




[1] Diterjemahkan dari: Denis Huisman, Dictionnaire des philosophes, K-Z, Paris: Presses Universitaires de France, 1984, p. 2191.


Mangku Negara IV, 1809-1881

   
 Pangeran Surakarta (Jawa Tengah, Indonesia), dikenal atas puisi-puisinya terutama yang paling terkenal adalah Wedhatama yang dedikasikan untuk para penerusnya dan memuat sebuah pelajaran mengenai cara membentuk kesempurnaan dengan mengikuti tradisi Jawa; Wedhatama memuat pula sebuah pelajaran mistis Jawa tentang kesatuan antara manusia dan Tuhan.


Oleh: Abdullah Ciptoprawiro




[1] Diterjemahkan dari: Denis Huisman, Dictionnaire des philosophes, K-Z, Paris: Presses Universitaires de France, 1984, p. 1735-1736.


Nicolaus Driyarkara, 1913-1967

N. Driyarkara lahir di Kedunggubah (Jawa Tengah, Indonesia). Ia meninggal di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah, 11 Februari 1967.

Diryarkara belajar filsafat di Seminari Tinggi Yogyakarta (Indonesia) dan teologi di Maastricht (Belanda). Kemudian, ia memperoleh gelar doktor ilmu filsafat dari Universitas GregorianaRoma, dengan disertasi mengenai filsafat Malebranche.

Kontribusi Driyarkara bagi perkembangan filsafat di Indonesia sangat penting karena dua hal. Pertama, ia mengenalkan filsafat Barat kotemporer, termasuk eksistensialisme dan fenomenologi di negaranya. Kedua, Driyarkara berhasil menciptakan berbagai kosakata filosofis modern dalam bahasa Indonesia.

Filsafat Driyarkara dipengaruhi dan merupakan sintesis neo-Thomisme (terutama J. Marshal); eksistensialisme (M. Heidegger, Gabriel Marcel); dan fenomenologi (Merleau-Ponty, Max Scheler). Ia sendiri menjelaskan metode filsafatnya sebagai fenomenologi transendental.

Cakupan tulisan-tulisan Driyarkara berkisar tentang kebebasan, manusia, dan dasar-dasar etika. Ia merancang dan menyajikan analisis-analisisnya dalam konteks bahasa dan budaya Indonesia. Refleksi tulisannya didasarkan pada prinsip-prinsip:

  1. Manusia adalah seorang individu, bukan entitas yang terfragmentasi dengan kontrol diri,
  2. Manusia sebagai individu di dalam dunia harus terus membentuk dunia,
  3. Manusia adalah makhluk sejarah, dan
  4. Keseluruhan proses tersebut merupakan akulturasi (humanisasi) secara dialektis.





[1] Denis Huisman, Dictionnaire des philosophes, A-J, Paris: Presses Universitaires de France, 1984, p. 778.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar